Ini Tanggapan Lulusan Doktor Ilmu Hukum UGM Terkait Pelaku Pembunuhan di Gunungsitoli - Corong Nias

Berita Terbaru

Selasa, 25 Juni 2019

Ini Tanggapan Lulusan Doktor Ilmu Hukum UGM Terkait Pelaku Pembunuhan di Gunungsitoli



Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LL.M
Gunungsitoli, Meskipun terbukti melakukan tindak pidana, setiap orang yang masih tergolong usia anak tetap harus mendapatkan perlindungan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dimana anak tetap harus dimintai pertanggungjawaban, atas apa yang telah dilakukan, namun tidak dengan melanggar hak-hak anak yang dapat dimaknai untuk tetap berpegang pada prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).

Beniharmoni Harefa yang sehari-harinya sebagai Dosen Hukum Perlindungan Anak FH UPN “Veteran” Jakarta ketika dimintai tanggapannya oleh corongnias.com, Senin (24/6/2019) terkait anak berinisial danYT (16) dan R (17) yang diduga kuat sebagai pelaku kasus pembunuhan salah seorang pendamping desa di wilayah kecamatan Gunungstoli pada hari kamis (20/6/2019) lalu menjelaskan bahwa dalam UU SPPA, sudah ditegaskan bahwa pidana penjara sedapat mungkin dihindari dari anak.

Pidana penjara sebagai the last resort (upaya paling akhir), sehingga kemudian dalam peradilan anak dikenal konsep diversi (pengalihan-red) penyelesaian perkara anak dari peradilan formal ke luar peradilan formal yang bertujuan menghindari anak dari penjara yang memiliki dampak buruk.

Namun demikian, diversi dibatasi terhadap tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 5 tahun.

Mengenai kasus dugaan pembunuhan Rickson H merupakan tindak pidana dengan ancaman pidananya lebih dari 7 tahun, maka tidak dapat diselesaikan melalui diversi, akan tetapi pasal 81 ayat 6 UU SPPA membatasi bahwa pidana penjara dijatuhkan paling lama 10 tahun.

Lulusan S-3 Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada ini mengingatkan Kepolisian dalam penanganan kasus ini agar tetap tunduk pada hukum acara pidana, dengan tidak melupakan bahwa penanganan perkara yang pelakunya masih usia anak berbeda dengan penanganan perkara dewasa, seperti halnya dalam jangka waktu penahananan untuk pelaku usia anak maksimal 15 hari, lebih dari 15 hari maka anak dibebaskan dari penahanan demi hukum.

Oleh sebab itu polisi harus bekerja ekstra cepat untuk menyusun BAP, tentunya dengan tetap berpegang pada prinsip the best interest of the child dan selanjutnya diserahkan pada JPU.

Selain itu, Beni yang juga merupakan konsultan ahli di PKPA Nias ini mengungkapkan bahwa sejauh ini hukum pidana yang berlaku di Indonesia tidak mengenal pertanggungjawaban pengganti, oleh sebab itu yang harus bertanggungjawab adalah anak itu sendiri (secara pidana), namun perlu dipahami bahwa apa yang dilakukan anak merupakan akumulasi dari apa yang diterima anak sejak dilahirkan, dibesarkan, sampai pada waktu ia melakukan tindak pidana tersebut.

Baca juga: Mayat Diduga Korban Pembunuhan Ditemukan di Gunungsitoli 

Lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, dan lingkungan sekitar anak sangat menentukan. Oleh sebab itu, pihak-pihak ini secara tidak langsung turut andil, membentuk sikap dan karakter seorang anak.

Beranjak dari situ, seharusnya semua pihak berperan memberi pembimbingan bagi anak termasuk orangtua, guru dan orang-orang dewasa disekitar anak. Namun jika anak yang berkonflik dengan hukum seperti ini, dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), ada juga Pekerja Sosial (Peksos) Profesional yang disediakan oleh Dinas Sosial, serta Lembaga Perlindungan Anak seperti PKPA Nias, dan semua pihak termasuk tokoh-tokoh agama, masyarakat, tokoh adat. Bahkan termasuk aparat penegak hukum : polisi, jaksa, hakim, dan pengacara memberikan bimbingan, atas penyimpangan perilaku anak, lagi-lagi dengan tetap berpegang pada prinsip kepentingan terbaik anak.

Baca Juga: Salah Seorang Pelaku Pembunuh RH, Baru Lulus SMP 

Pria kelahiran Gunungsitoli Tahun 1987 menerangkan bahwa dalam kasus yang sedang viral tersebut dapat dipahami emosi keluarga, masyarakat termasuk netizen sedang meluap-luap, sehingga terkadang tanpa disadari foto dan identitas pelaku dibagikan ke public, namun perlu diingat bahwa ada pasal 19 ayat 1 dan 2 UU SPPA menegaskan bahwa identitas anak pelaku tindak pidana, wajib dirahasiakan.

Identitas itu meliputi nama anak, nama orangtua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri anak. Di pasal 97 UU SPPA diatur bahwa pelanggaran terhadap pasal ini dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun.

Dijelaskannya hal ini bukan bermaksud Negara melegalkan atau melindungi perbuatan jahat yang dilakukan anak, tetapi perlu ditegaskan bahwa kenakalan yang dilakukan anak tidak sama dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa.

Baca juga: Marlius: Peran Tokoh Agama Sangat Penting Dalam Meminimalisasi Tindakan Kriminal

"Anak tetaplah anak dengan segala keterbatasannya, meskipun apa yang dilakukan secara kasat mata merupakan hal sadis dan sulit diterima akal, namun Negara melalui UU SPPA menegaskan bahwa anak tetap harus mendapatkan perlindungan", terang Beni.

Mengakhiri penjelasannya, Beniharmoni mengucapkan turut berdukacita kepada keluarga korban dan berharap untuk tetap kuat dan tabah atas musibah yang terjadi. (Red)
Komentar

Tidak ada komentar:



Klik Disini