![]() |
| Advokat Fransiskus Lature | Foto: ist. |
Jakarta, — Advokat Fransiskus Lature angkat bicara terkait dugaan penganiayaan terhadap salah seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Gunungsitoli, Sumatera Utara. Ia menilai, jika kabar tersebut benar adanya, maka tindakan itu sudah termasuk tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP.
“Kalau memang benar ada penganiayaan, itu bukan sekadar pelanggaran etik atau disiplin. Itu sudah perbuatan pidana. Unsur kesengajaan, melawan hukum, dan menimbulkan penderitaan fisik sudah terpenuhi,” ujar Fransiskus kepada CorongNias.com, Sabtu (25/10/2025).
Fransiskus menegaskan, seorang Kepala Lapas tidak bisa berlindung di balik jabatannya untuk melakukan kekerasan. Menurutnya, tindakan seperti itu merupakan penyalahgunaan wewenang dan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM).
“Kalapas itu bukan penguasa di balik tembok. Ia pelaksana undang-undang. Kalau pejabat lapas melakukan kekerasan, itu berarti melanggar hukum dan harus diproses secara pidana,” tegasnya.
Ia menjelaskan, Pasal 351 ayat (1) KUHP mengancam pelaku penganiayaan dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Jika menyebabkan luka berat, hukuman bisa meningkat hingga lima tahun, dan jika mengakibatkan kematian, tujuh tahun. Selain melanggar KUHP, Fransiskus juga menilai tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menegaskan bahwa pembinaan narapidana harus dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
“Lapas bukan tempat penyiksaan. Hak-hak warga binaan dilindungi undang-undang, termasuk hak atas perlakuan manusiawi, rasa aman, dan keadilan. Negara wajib menjamin tidak ada kekerasan di balik tembok lapas,” ujarnya. Pendiri FLP Law Firm itu juga meminta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), segera turun tangan menyelidiki kasus ini secara independen dan terbuka.
.
“Kasus seperti ini jangan hanya ditangani secara internal. Harus ada proses hukum yang jelas. Kalau terbukti, pelaku harus dicopot dan diproses tanpa pandang jabatan,” tambahnya. Menurutnya, peristiwa tersebut menjadi gambaran lemahnya pengawasan di lembaga pemasyarakatan dan menjadi ujian nyata bagi reformasi sistem hukum di Indonesia.
“Kasus seperti ini jangan hanya ditangani secara internal. Harus ada proses hukum yang jelas. Kalau terbukti, pelaku harus dicopot dan diproses tanpa pandang jabatan,” tambahnya. Menurutnya, peristiwa tersebut menjadi gambaran lemahnya pengawasan di lembaga pemasyarakatan dan menjadi ujian nyata bagi reformasi sistem hukum di Indonesia.
“Ini bukan kejadian tunggal. Masih banyak persoalan di balik tembok lapas yang belum dibenahi. Reformasi pemasyarakatan tidak akan berarti kalau kekerasan masih digunakan sebagai alat pembinaan,” pungkas Fransiskus. (C-003)

