Sadieli: Sudahkah Gunungsitoli Maju Dibawah Pemerintahan 'Laso'? - Corong Nias

Berita Terbaru

Selasa, 16 Juni 2020

Sadieli: Sudahkah Gunungsitoli Maju Dibawah Pemerintahan 'Laso'?

Sadieli Telaumbanua
(Sebuah Refleksi dalam Pemilihan Kepala Daerah)

Pendahuluan
Kota Gunungsitoli resmi memiliki organ pemerintahan sejak 2009. Ketika itu dibidani oleh Drs. Martinus Lase, MSP yang kemudian terpilih sebagai walikota definitif bersama Drs. Aroni Zendrato sebagai wakil walikota masa bakti 2011 – 2016. Dengan menggunakan “kacamata” objektif setidaknya Madani (Martinus dan Aroni) telah meletakkan dasar-dasar pembangunan yang berwajah isosekbud (iman, sosial, ekonomi, dan budaya). Gunungsitoli kota Samaeri begitu populer pada saat itu. Tentu saja cukup banyak kelemahan selama menakhodai Kota Gunungsitoli yang  dulu dikenal dengan Onozitoli dan/atau Luaha.

Pada masa pemilihan kepala daerah periode 2016 – 2021, Madani pisah ranjang. Drs. Martinus Lase, MSP memilih wakilnya Drs. Kemurnian Zebua (rivalnya pada pilkada 2011 – 2016) dengan menggunakan sebutan Makmur (Martinus dan Kemurnian). “Bus” Makmur sebagai sebuah armada transportasi di Kota Medan tidak bisa mengejar kecepatan pasangan Laso (Lakhomizaro Zebua dan Sowa’a Laoli). Sejak 2016 - 2021 Laso menjadi ”bidan” pembangunan di Kota Gunungsitoli.

Berbeda dengan Madani yang senantiasa menyeimbangkan pembangunan infrastruktur sosial dengan pembenahan fisik, pasangan Laso ini lebih menitikberatkan pada pembangunan berbasis infrastruktur. Berbagai tempat “keluyuran” (baca: objek wisata) menjadi perhatian pasangan Laso. Tugu pun  di bangun di berbagai tempat. Sebut saja tugu durian, tugu gempa, tugu meriam, tugu yang bernuansa religius, dan bentuk-bentuk fisikal lainnya. Pembangunan pusat perkantoran, sarana jalan, dan prasarana lainnya tidak luput dari perhatian Laso. Singkatnya masyarakat yang memiliki status sosial menengah ke atas,pasti merasakan dampak pekerjaan Laso ini. Kelompok ini membanjiri media sosial dengan puja-puji terhadap kinerja Laso.  Masyarakat  yang hidupnya pas-pasan cukup diberi gerobak sebagai wadah berjualan di pinggir jalan. Termasuk memberi sampan bermesin kepada mereka yang sering melaut. Kabarnya, orang miskin di Kota Gunungsitoli belum terentaskan. Bahkan termasuk salah satu kota “stunting” (anak bertubuh pendek/seimbang antara usia dan tinggi/berat badan). Beberapa teman di Gunungsitoli sering bergurau bahwa Laso ini menggunakan pendekatan proyek dalam menjalankan pemerintahan. Sebutan ini wajar saja dilontarkan karena pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kala memusatkan perhatian para pembangunan infrastruktur. Tentu saja pemerintahan di bawahnya mengikuti program “majikannya”.

Pemimpin Bersih
Apakah pembangunan infrastruktur fisikal keliru? Jawabnya: diperlukan. Akan tetapi ketika seorang pemimpin lebih mengedepankan pembangunan fisik ketimbang pembangunan sosial yang berdimensi pemberdayaan (empowering), hasil program/ kegiatan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Masyarakat yang tidak memiliki akses pada sentra ekonomi termasuk koneksi dalam lingkaran kekuasaan hanya berperan sebagai penonton/penggembira. Berselfi ria pada sejumlah tugu di pusat pasar Gunungsitoli rasanya sudah memadai.

Gunungsitoli sebagai gerbang utama dari empat kabupaten (Nias, Nias Selatan, Nias Utara, dan Barat) perlu berinovasi dalam berbagai sektor. Dalam tulisan ini, ditawarkan sebuah gagasan bagi para kandidat yang akan bertempur menjadi Gunungsitoli Satu (Gunungsitol1). Dalam era new normal (kenormalan baru), salah satu yang perlu diusung adalah bagaimana agar Gunungsitoli Bersih. Dengan kata lain, hendaknya pemimpin yang terpilih adalah walikota yang memiliki tekad yang kuat mewujudkan infrastruktur sosial bagi seluruh masyarakat di Kota Gunungsiotoli, bukan kandidat yang lebih fokus pada pembangunan fisik semata.

Akronim Bersih ( beriman, edukatif, raharja, sehat, infrastruktur, happy) diramalkan dapat mempercepat pemberdayaan masyarakat di Kota Gunungsitoli. Pertama, pemimpin perlu memiliki program/kegiatan yang menjadikan masyarakat beriman kepada Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Tidak sebatas memberi bantuan untuk pembangunan rumah ibadah atau ikut beribadah bersama jemaat. Beriman dalam kenormalan baru adalah memberikan modeling bagi semua orang. Pemimpin perlu memberdayakan seluruh masyarakat agar memiliki karakter saling-melayani berlandaskan nilai-nilai agama yang dianut. Soliditas dan solidaritas kesalehan sosial perlu ditumbuhkan untuk melengkapi kesalehan spritualitas.

Kedua, pemimpin yang diharapkan adalah yang mampu menjadikan Gunungsitoli  edukatif. Sampai saat ini, masyarakat Gunungsitoli masih belum terbebas dari keterbelakangan pengetahuan dan keterampilan. Kualitas pendidikan pada semua jenjang masih jalan di tempat. Oleh karena itu, Gunungsitoli yang edukatif perlu diterjemahkan dalam berbagai kegiatan dan program agar memiliki dampak pada pembentukan hard skill dan soft skill. Peningkatan kompetensi guru, siswa, dan orang tua perlu dijadikan core kegiatan dan program. Ketidakberdayaan pusat pendidikan ini telah terbukti pada pandemik covid-19. Pembelajaran daring sebagai solusi sementara nyaris tidak terlaksana. Terlepas dari berbagai kendala seperti jaringan dan keterbatasan siswa/orang tua dalam menyediakan data paket internet. Pada masa kenormalan baru, penyediaan jaringan di setiap kecamatan/desa adalah sebuah keniscayaan.

Ketiga, raharja  berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai sektor. Bercermin pada kondisi geografis Kota Gunungsitoli dan tingkat kecerdasan masyarakatnya, tidak terlalu dini apabila pertanian/peternakan/ kelautan masih menjadi andalan perekonomian. Jasa dan industri (rumah tangga) terbatas bagi masyarakat di pusat kota (baca: kelurahan pasar Gunungsitoli). Oleh karena itu, untuk lima tahun ke depan, pemimpin yang diharapkan adalah yang mau dan mampu berinovasi menaikkan derajat perekonomian masyarakat dengan berbasis pada agroekonomi/agrobisnis. Syukur-syukur mampu menjadikan Gunungsitoli sebagai pusat agroindustri. Sikap inovatif  dan hiperkreativitas sangat diperlukan dalam menjadikan masyarakat Gunungsitoli mencapai tingkat kesejahteraan yang standar.

Keempat, sehat adalah dambaan seluruh masyarakat. Hanya orang sehat yang memiliki kemampuan berinovasi untuk meningkatkan taraf hidupnya. Hal yang sangat mengembirakan saat ini adalah ketersediaan dokter (termasuk obat) di setiap Puskesmas. Namun, dalam era kenormalan baru ini, mengandalkan dokter/perawat dan obat-obat rumah sakit perlu dipikir ulang. Salah satu inovasi dalam bidang kesehatan ini adalah apabila pemimpinnya mampu memberdayakan keluarga sebagai dokter/ perawat anggota keluarganya. Tanaman obat sebagai warisan leluhur masyarakat patut dikembangkan oleh setiap keluarga. Program toga (tanaman obat keluarga) yang pernah populer pada masa Suharto perlu dilirik penerapannya.

Kelima, infrastruktur sebagai penopang kegiatan dan program pemberdayaaan masyarakat perlu diselia dengan baik. Betapa banyak infrastruktur yang dibangun, namun tidak memiliki luaran (impact) bagi masyarakat. Sejatinya, semua sarana dan prasarana yang dilaksanakan haruslah bermuara pada percepatan pemberdayaan masyarakat pada semua sektor, terutama dalam bidang peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sekadar contoh, pembangunan irigasi dapat membantu masyarakat untuk melipatgandakan hasil persawahan. Jalan yang berhotmix dapat meningkatkan mobilitas masyarakat untuk berbisnis. Oleh karena itu, pemimpin Gunungsitoli ke depan, perlu memperhatikan penyediaan infrastruktur yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat secara massal, bukan hanya kelompok tertentu.

Keenam, untuk melepaskan kepenatan masyarakat diperlukan wahana  yang dapat memberikan keceriaan (happy). Penyediaan sarana dan prasarana wisata sebaiknya menjangkau seluruh kecamatan yang ada di Kota Gunungsitoli. Tentu saja, kita patut berbangga bahwa pusat pasar Gunungsitoli telah berubah dari kota kumuh. Mata para pengunjung terbelalak dengan lampu warna-warni ditambah dengan penonjolan ornamen keniasan. Dalam lima tahun ke depan, seiring dengan penerapan kenormalan baru, tentu saja ada pembatasan kerumunan manusia. Oleh karena itu, penyediaan sarana keceriaan masyarakat perlu dirancang dengan berbasis pada kreativitas desa dan/atau kecamatan.

Penutup
Ketika slogan Gunungsitoli Bersih ini dibentangkan secara terbatas kepada beberapa teman, umumnya merespon positif. Bahkan, seorang sahabat berkata bahwa hal tersebut telah tertera dalam dokumen  RPJMD dan RPJP Kota Gunungsitoli. Reaksi ini wajar saja dan dapat dimaklumi. Namun, konsep bersih dalam tulisan ini memiliki peran ganda, selain sebagai metode/strategi juga sekaligus sebagai filosofis membangun Kota Gunungsitoli. Pada tataran filosofis, penyelenggaraan pembangunan harus bersih dari segala tindakan selama old normal (kenormalan lama), seperti kolusi, dana taktis (baca: 10%), mahar jabatan, mark up, pengutamaan  AMPI (anak, menantu, ponakan, dan ipar) dalam berbagai kegiatan/proyek pembangunan, dan sejumlah modus dalam menggerogoti uang rakyat. Perlu dipahami bahwa, gagasan/ide atau visi-misi hanya akan bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat apabila mampu dan mau mengeksekusi. Pemimpin Gunungsitoli yang didambakan adalah yang mau dan mapu memberdayakan (empowering) bukan memperdayakan (deceivening). Semoga masyarakat Kota Gunungsitoli dapat memilih pemimpin yang memiliki prinsip less for self, more for others, and enough for everyone (terjemahan bebas: mengutamakan semua orang). Gunungsitoli Bersih. 

Oleh:
Dr. Sadieli Telaumbanua, M.Pd, MA
(Associate Professor pada Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah I Sumut dpk pd Universitas Prima Indonesia)
Komentar

Tidak ada komentar:



Klik Disini